Merosotnya Industri Apel Batu

Oleh:   Anonymous Anonymous   |   Friday, October 15, 2010
Industri Apel di Batu dimulai pada tahunan 1930an. Orang Belanda membawa pohon apel ke daerah Batu karena menyadari iklim sejuk Batu bersama-sama dengan tanah yang subur mungkin sesuai untuk menanam buah apel. Lebih dari 70 tahun lama, industri tersebut membentuk bagian penting di Kota Batu. Ada lebih dari 512,8335 ha lahan tanam apel di Batu. Selain budidaya apel, industri-industri apel tambahan sudah dikembangkan sehingga lebih dari 100,000 jiwa yang bekerja di industri apel. Industri-industri tambahan ini berupa dodol apel, jenang apel, cuka apel, brem apel, kripik apel, dan agrowisata lain.
Selama 20 tahun sebagian besar masyarakat petani di Batu sudah memikirkan hasil alternatif dari apel. Iklim di Batu sangat sesuai untuk menanam berbagai hasil, misalnya jeruk, brokoli, buncis dan lain-lain. Pada bulan-bulan tertentu banyak petani berminat pindah ke industri lain seperti tanaman hias dan bunga potong. Perhatian ini di bidang bunga potong (mayoritas Krisan) dan tanaman hias menunjukkan bahwa petani apel bersedia pindah ke industri tersebut selain hasil apel.
Ada beberapa masalah yang terus-menerus terjadi di industri apel Batu. Masalah ini menyebabkan petani mempertimbangkan kembali bidang pertanian yang mereka ingin lanjutkan. Tanaman apel bisa diserang oleh berbagai macam penyakit, contohnya: masalah dengan pohon yang tua leler, dan untuk mengatasi hal tersebut petani perlu kerja keras. Sebaliknya, sebagai alternatif lain, bunga potong punya kemungkinan kecil untuk dipengengaruhi oleh penyakit. Disamping ini, pembudidayaan bunga potong bisa ditukar lewat bermacam-macam jenis dengan mudah.
Menurut Penelitian D.M. Cook, 2006 “kematian” industri apel di kota Batu disebabkan oleh beberapa hal berikut:
1. Industri apel di Batu menghadapi banyak masalah. Masalah-masalah ini sebagian besar ekonomis. Apel Batu tidak berhubungan dengan persaingan dibandingkan buah impor. Industri apel hidup terus lama tujuh puluh tahun. Keadaan terjadi karena tidak ada persaingan dari luar negeri. Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia memutuskan menjadi anggota WTO. Akibatnya, pasar Indonesia dibuka kepada produk lain dari negara lain. Pasar buah Indonesia dibanjir apel yang berasal dari Amerika Serikat, Jepang, Australia, Cina dan Selandia Baru. Yang jelas adalah bahwa buah impor adalah buah lebih baik dan harganya lebih murah daripada apel Batu.
2. Industri apel di Batu menghadapi kesulitan untuk memperoleh keuangan.
3. Kondisi kerja di industri apel cukup baik. Dibandingkan kondisi kerja industri bunga potong hampir sama, kecuali kebunan apel terletak di luar, di lerengan gunung-gunung di kecamatan Batu dan Bumiaji. Sebaliknya, petani bunga potong biasanya bekerja di dalam greenhouses, atau kalau di luar, di kebunan yang terletak di satu tingkat. Petani apel harus membawa keranjang buah apel naik
lerengan curam. Keranjang itu biasanya lebih berat daripada ember bunga potong.
4. Mayoritas petani dan buruh apel tidak berpendidikan tinggi. Dibandingkan petani dan buruh bunga potong, petani apel berpendidikan sangat rendah.
5. Petani dan buruh-buruh apel merasa sangat bangga untuk bekerja di bidang pertanian apel. Petani tersebut memikul penderitaan ekonomis tetapi tetap puas dengan industri tersebut karena merasa kebanggaan. Perasaan kebanggaan digunakan untuk mempromosikan buah apel sebagai buah terbaik, antara lain memajukan produk apel kerajin tangan seperti dodol dan jenang. Produk khas Batu dijual sebagai produk harga lebih mahal karena produk tersebut mewakili lambang kebanggaan di industri apel
6. Industri apel berada di Batu, tetapi adanya bukan secara kuat. Industri apel tidak membuat banyak keuntungan. Bahkan, untuk buruh-buruh apel, hidup tidak enak. Buruh-buruh tinggal di desa dan mendapat gaji rendah.
7. Secara fisik, industri apel masih menderita masalah rencana dari 20-30 tahun yang lalu. Pada tahunan 70-an, Dinas Pertanian bersama pemerintah Indonesia mengusulkan kepada petani bahwa industri memerlukan lebih banyak pohon. Akibatnya, kecamatan Bumiaji dan Batu mulai menanam banyak pohon. Pada saat itu, petani apel menanam empat jenis utama, yaitu Rome Beauty, Manalagi, Anna dan Wanglin. Kebanyakan pohon itu masih ada. Pohon-pohon tua itu tidak tepatguna. Pohon itu memerlukan sebanyak pupuk, air dan kimia dengan pohon muda. Namun pohon tua tidak menghasilkan buah secara efisien. Banyak petani tidak mampu membayar untuk menghilangkan pohon tua dari kebun. Pada waktu sama, petani juga tidak mampu membeli pohon baru, atau bibit.

Tampilkan Komentar