Dakwah Dengan Santun

Oleh:   Anonymous Anonymous   |   Friday, November 12, 2010



“dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Assaba’: 28)

        Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang penyampai pesan Allah --sang khalik, untuk memberikan kabar gembira dan peringatan, pada seluruh umat manusia. Beliau adalah seorang da’i yang menyampaikan pedoman hidup terlengkap dari Allah
, sehingga dapat menjadi cahaya yang menerangi kehidupan seluruh manusia.  Tugas dakwah Islamiyah telah dilaksanakan oleh Rasulullah dengan tuntas semenjak beliau diangkat menjadi rasul hingga wafatnya beliau. Amanah tersebut kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya. Berestafet kepada tabi’iin, tabi’ut tabi’iin, hingga generasi kita saat ini.
        Tugas dakwah (ajakan kepada kebaikan dan agama Islam) sebenarnya bukan hanya tugas para ulama saja, lebih dari itu, dakwah adalah tugas dan kewajiban setiap muslim baik individu maupun kolektif. Allah berfirman:
`“dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Ali Imron: 104)

Kewajiban setiap individu berdakwah, disamping dinyatakan oleh ayat di atas juga ditegaskan oleh Rasulullah SAW. Setelah menyampaikan pesan-pesan penting dan mendasar dalam Haji Wada’, Rasulullah bersabda yang 

artinya: “Maka hendaklah yang menyaksikan di antara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena boleh jadi yang hadir itu menyampaikannya kepada orang yang lebih dalam memperhatikannya daripada sebagian yang mendengarkannya”. (H.R. Bukhari)
Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW menegaskan: “Sampaikanlah yang (kamu terima) dariku, walaupun satu ayat” (H.R. Bukhari)



Metode Dakwah
         Ada sebuah pepatah Arab yang sangat terkenal: “attariqa ahammu minal maadah”, metode itu lebih penting dari materi. Dalam teori pembelajaran, sebagus apapun sebuah materi yang disampaikan oleh seorang guru, namun apabila guru tersebut tidak dapat mengemasnya semenarik mungkin, maka akan menjadi menjenuhkan dan seorang siswa tidak dapat menangkap pelajaran dengan baik. Begitu pula dalam teori dakwah sebagus apapun ajaran Islam, namun apabila seorang da’i tidak dapat menyampaikan ajaran tersebut dengan metode yang baik bisa jadi akan ditinggalkan dan dijauhi oleh umatnya. Salah satu faktor penentu keberhasilan dakwah adalah metode yang tepat. Rasulullah SAW sangat berhasil dalam berdakwah karena beliau dapat menyampaikan pesan yang tepat kepada orang yang tepat dengan cara yang tepat pada waktu yang tepat. Dalam bahasa Al-Qur'an metode yang tepat itu adalah bil hikmah, wal-mauizhah al-hasanah seperti dalam firman Allah berikut ini:
ä"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q.S. An-Nahl: 125)
Ayat di atas menerangkan tiga metode (tharîqah) dakwah kepada manusia, yaitu”
Pertama, dengan hikmah, maksudnya dengan dalil (burhan) atau hujjah yang jelas (qath‘i ataupun zhanni) sehingga menampakkan kebenaran dan menghilangkan kesamaran 1. Cara ini ditujukan kepada mereka yang ingin mengetahui hakikat kebenaran yang sebenarnya yaitu mereka yang memiliki kemampuan berfikir yang tinggi atau sempurna 2; seperti para ulama, pemikir, dan cendekiawan. 
Kedua, dengan maw‘izhah hasanah, yaitu peringatan aik yang dapat menyentuh akal dan hati (perasaan) 3. Misalnya, dengan menyampaikan aspek targhîb (memberi dorongan/pujian) dan tarhîb (memberi peringatan/celaan) ketika menyampaikan hujjah 4. Cara ini ditujukan kepada masyarakat secara umum. Mereka adalah orang-orang yang taraf berfikirnya di bawah golongan yang diseru dengan hikmah, namun masih dapat berpikir dengan baik dan mempunyai fitrah dan kecenderungan yang lurus5
Ketiga, dengan jadal (jidâl/mujâdalah) billati hiya ahsan, yaitu debat yang paling baik. Dari segi cara penyampaian, perdebatan itu disampaikan dengan cara yang lunak dan lembut, bukan cara yang keras dan kasar 6. Tujuannya agar terfokus kepada usaha mengungkapkan kebenaran, bukan untuk mengalahkan lawan debat semata-mata ataupun menyerang peribadinya 7. Dari segi argumentasi, ia perlu dijalankan dengan cara menghancurkan kebatilan dan membangun kebenaran. Cara ini ditujukan kepada orang yang cenderung suka berdebat dan membantah, yang sudah tidak dapat lagi diseru dengan jalan hikmah dan maw‘izhah hasanah8.
Bagian terakhir dari ayat tersebut, bahwa jika kita telah menyeru manusia dengan tiga jalan tersebut, maka urusan selanjutnya terserah kepada Allah. Memberikan hidayah bukan kuasa manusia, melainkan kuasa Allah semata-mata. Kita hanya berkewajiban menyampaikan (balâgh); Allahlah yang akan memberikan petunjuk serta memberikan balasan, baik kepada yang mendapat hidayah mahupun yang tersesat 9.
Menurut KH. Ihya Ulumuddin, pengasuh pesantren Nurul Haromain Pujon, surat Ali Imron: ayat 104 tersebut dapat diambil dua pelajaran dakwah, yaitu dakwah kepada non muslim dan dakwah kepada muslim. Pertama; dalam arti mendakwahkan Islam kepada non muslim merupakan sebuah kewajiban Islam dengan berbagai sarana dakwah yang telah ditetapkan secara syara’, demi berjihad untuk membebaskan seluruh alam dari kekafiran, kefasikan, kemaksiatan dan agar tidak terjadi fitnah di atas bumi yang diwariskan kepada kita. Kedua; dalam arti mentransformasikan kebaikan kepada saudara-saudara kita kaum muslimin sendiri ketika mereka sedang dalam kondisi kemunduran budaya, terpecah-belah, terjebak dalam kenegatifan, tercerai berai dan tercabik-cabik secara politik, ekonomi dan sosial dengan cara menyelamatkan mereka dari keberadaan mereka yang ibarat buih, membangkitkan semangat mereka, mendorong mereka kepada segala hal yang baik dan bermanfaat bagi mereka. Dan sesungguhnya ikatan yang mengikat kita dengan mereka adalah ikatan aqidah yang kita yakini lebih suci daripada ikatan tanah dan tumpah darah.
Sesungguhnya semua orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat adalah muslim dengan syarat ia tidak mengucapkan kalimat kekafiran, tidak mengingkari hal yang secara pasti dimaklumi sebagai bagian dari agama, tidak mendustakan hal yang jelas-jelas ditegaskan Alqur’an atau tidak menafsirkannya dengan cara yang sama sekali tidak sesuai dengan uslub-uslub bahasa arab atau ia tidak melakukan suatu perbuatan yang tidak memiliki kemungkinan lain selain perbuatan kekafiran.
Dan sesungguhnya wajib bagi kita untuk tidak menuduh atau menyebut kafir siapapun yang telah berikrar dengan dua syahadat sekaligus juga menjalankan tuntutannya. Karena islam selalu baik dan hidup dalam relung jiwa mereka. Sesungguhnya kewajiban gerakan (dakwah) adalah hanya memindahkan perasaan tersebut ke dalam bentuk nyata berupa tindakan yang islami dan tentunya gerakan kita ini hanyalah sekedar pemandu bagi umat demi kebutuhan mendesak mereka akan penyelamatan, motivasi dan dorongan untuk menghadapi sekian banyak tantangan dan menjauhi segala bentuk hal negatif.
Sungguh ujian terbesar kaum muslimin adalah perselisihan dan perpecahan. Sementara asas untuk mereka meraih kemenangan adalah persatuan, cinta dan kasih sayang. Generasi akhir umat ini tidak akan pernah menjadi baik kecuali dengan sesuatu yang menjadikan baik generasi umat terdahulu. Inilah pemikiran dasar, keyakinan yang tertanam dalam jiwa dan tujuan yang dimaklumi oleh kita semua agar kita berfokus ke sana sekaligus menyerukannya.
Wallâhu a‘lam
Catatan kaki:
1.   Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl (Tafsîr al-Baydhawi), III/195; Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma‘âni at-Tanzîl, IV/124; Muhammad Sulayman al-Asyqar, Zubdah at-Tafsîr min Fath al-Qadîr, hlm. 363.
2.   An-Nawawi al-Jawi, Marah Labid Tafsir An-Nawawi, I/516-517.
3.   Muhammad Abdul Mun’in Al-Jamal, At-Tafsîr al-Farîd li al-Qur’ân al-Majîd, hlm. 1704.
4.   Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma‘âni at-Tanzîl, IV/124. Ini sesuai dengan makna bahasa maw’izhah, yakni memberi nasihat atau peringatan dengan menerangkan akibat-akibat (bi al-‘awâqib) dari sesuatu perbuatan. Lihat Ibrahim Anis dkk, Al-Mu‘jam Al-Wasîth, hlm. 1043.
5.   An-Nisaburi, Gharâ’ib al-Qur’ân wa Raghâ’ib al-Furqân, XIV/130-131.

6.   Demikian menurut Muhammad Khayr Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah asy-Syar‘iyyah, I/786 & 790, mengikuti pendapat al-Mawardi dalam Al-Ahkâm ash-Shulthaniyah hlm. 37-38, al-Kasani dalam Badâ‘i‘ ash-Shana`i‘, VII/100, dan As-Sarakhsi dalam Syarh as-Sayr al-Kabîr, I/75-76.

12. Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân, XIII/292.
7.   Al-Alusi, Rûh al-Ma‘âni, V/487.
8.   Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, II/591.


Tampilkan Komentar