Menyoal Film Tanda Tanya

Oleh:   Anonymous Anonymous   |   Sunday, April 10, 2011
JAKARTA – Bukan hanya warga Nahdiyin saja yang mengecam film "?" (tanda tanya) garapan Hanung Bramantyo. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menilai film ini menyebarkan faham Pluralisme Agama yang telah difatwa haram.

Penyebaran faham Pluralisme ini telah dicermati oleh KH Cholil Ridwan, Ketua MUI Pusat Bidang Budaya, usai menyaksikan film itu Rabu malam (6/4/2011) di Jakarta. "Film ini jelas menyebarkan faham Pluralisme Agama yang telah difatwakan sebagai faham yang salah dan haram bagi umat Islam untuk memeluknya," ujar Cholil dalam penjelasan tertulisnya kepada voa-islam.com, Kamis (7/4/2011).

Indikasi faham pluralisme ini, jelas Cholil, terlihat dalam narasi di bagian awal, "Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama: mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan."

Dengan pandangan seperti itu, ujar Cholil, pihak pembuat film jelas memposisikan dirinya sebagai seorang non Muslim penganut faham netral agama, karena semua agama dipandang sama-sama merupakan jalan yang sah menuju Tuhan yang sama. Konsep netral agama tak mengenal konsep Tauhid dan Syirik, atau Mukmin dan kafir, sehingga bertolak belakang dengan ajaran Islam.

"Cara pandang seperti ini menunjukkan bahwa pembuat film ini berdiri pada perspektif bukan sebagai seorang Muslim, tetapi sebagai seorang yang netral agama, yang memandang semua agama adalah menyembah Tuhan yang sama," tegas pengasuh Pesantren Husnayaian Jakarta itu.

Selain itu, papar Cholil, cara pandang pembuat film ini juga bertentangan dengan cara pandang Nabi Muhammad SAW. "Saat Rasulullah diutus sudah ada orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi, dan kaum musyrik Arab. Tapi Nabi Rasulullah menyeru mereka semua agar kembali kepada satu prinsip yang sama (Kalimatin Sawa'), yaitu prinsip Tauhid hanya menyembah Allah semata," tegasnya sembari mengutip Al-Qur'an surat Ali Imran 64, Maryam 88-91, Al-Ma'idah 73, dan Ash-Shaff:6).

Karenanya, Cholil yang juga Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia ini mempertanyakan keagamaan para pembuat film "?" yang tidak mau memakai agama sebagai dasar pijakan. "Sangat aneh jika seorang mengaku beragama Islam, tetapi melihat agama-agama lain selain Islam, bukan dari kacamata Al-Qur'an, tetapi dari kacamata netral agama," kritiknya.

Dalam pandangan akidah, lanjut Cholil, film ini sama sekali tidak bisa dibenarkan.

"Film ini mencampuradukkan dan mengacaukan konsep toleransi dan kerukunan dengan konsep "Pluralisme" dalam hal teologis," kecamnya. "Toleransi tetap bisa terjalin tanpa harus mengorbankan keyakinan keagamaan masing-masing, karena kerukunan umat beragama dapat terwujud bila masing-masing pemeluk agama tetap dengan klaim kebenarannya masing-masing " imbuhnya.

Setelah menelaah secara kritis mulai dari judul hingga bagian penutup (ending), Kholil Ridwan menyimpulkan bahwa pembuat film "?" ini belum memahami Islam. Karenanya, ia mengimbau agar para pembuat film, terutama sutradaranya, mengkaji Islam secara mendalam agar film-film hasil karyanya tidak sesat dan menyesatkan orang. Sangat tidak beradab, jika seseorang yang mengaku "tidak tahu" atau "belum tahu", tetapi sudah berlagak sok tahu.

"Saya menyarankan agar Saudara Hanung sebaiknya mengaji yang baik, dan dengan sukarela menyatakan bahwa filmnya memang keliru dan mengelirukan," imbau Cholil. "Lebih baik lagi, film ini ditarik dari peredaran," pungkasnya.

Film "Tanda Tanya" Hanung Sangat Melukai Hati Umat Islam

Film "?" (tanda tanya) garapan sutradara liberal Hanung Bramantyo dinilai sebagai film yang melukai hati umat Islam. Demikian kesimpulan dari pakar aliran Sepilis (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme), Adian Husaini terhadap film produksi Mahaka Pictures itu.

”Setelah saya melihat triller film ini yang lebih dulu disebarkan di You Tube, hingga menonton langsung filmnya malam ini, jelas sekali, film ini sangat merusak, berlebihan, dan melampaui batas. Hanung ingin menggambarkan kerukunan, tapi justru memberi stereotype yang buruk tentang Islam,” kata Adian.

Sebagai contoh, kata Adian, di babak awal film ini, ada adegan penusukan terhadap seorang pendeta yang tidak jelas motifnya. Belum lagi adegan pengeboman gereja. Kasus-kasus itu diangkat, untuk memberi steroetype orang Islam yang diperankan secara buruk. Begitu juga, seorang muslim yang murtad dari Islam diangap wajar saja. Kemudian semua agama digambarkan menuju satu tujuan dan tuhan yang sama.

Menurut Adian, ide-de pluralisme itu sendiri sudah lama ditentang oleh Islam. Karena kerukunan itu bisa diwujudkan tanpa mengorbankan keyakinan masing-masing. Adian menilai, film Hanung terkesan lebay alias berlebihan. Film ini ingin menciptakan kerukunan, tapi malah merusak konsep keyakinan pada masing-masing agama, terutama agama slam.

”Sangat disayangkan film ini telah sebarluaskan. Ini bukan menciptakan kerukunan, tapi justru bisa merusak kerukunan itu sendiri. Kalau konsep kebenaran pada setiap agama dihilangkan atas nama pluralisme, justru ini sangat berbahaya,” tukas Adian kesal.

Dikatakan Adian, tidak mungkin setiap agama menghilangkan klaim pada keyakinannya. Selama ini tidak ada masalah. Tidak bisa seorang muslim seenaknya, di masjid melafalkan QS Al Ikhlas, tapi disisi lain memerankan Yesus di sebuah gereja pada hari Pasca dan kegiatan kebaktian agama Nasrani lainnya. Toleransi sebetulnya cukup dengan menghormati orang lain, bukan mencampuradukkan keyakinan.

“Jelas sekali dalam ajaran islam, ada tauhid ada syirik, ada iman ada kufir. Nah, batas-batas itulah yang seharusnya dipegang. Jika produser, penulis, sutradara, pemain itu seorang muslim, seharusnya dia menjaga batas-batas keimanan dan akidahnya, yakni kapan dia mempertahankan konsep keyakinannya dan kapan rukun dengan orang lain yang tidak seagama. Film ini jelas Ini melampaui batas, ini merugikan kerukunan umat beragama itu sendiri,” paparnya.

Ketika ditanya, apakah sebaiknya ada seruan untuk memboikot film ini? Adian sendiri tidak menganjurkan agar film ini diboikot. Ia beralasan, sekarang ini era kebebasan, eranya orang boleh menyebarkan apa saja. Terpenting, kata Adian, setiap muslim wajib mempertahankan keimanannya, sehingga tidak tergoda, tidak terjebak, tidak terpesona serta tidak terpeleset.

Di era keterbukaan ini, siapa yang bisa melarang untuk memboikot. Yang pasti tokoh agama harus menjelaskan kepada umat akan bahaya film pluralisme agama yang jelas menyesatkan. Bagi Adian, yang penting masing-masing orang tahu, mana tauhid mana syirik, mana iman mana kufur, mana sunnah mana bidah, mana halal dan mana haram,

”Kadangkala tontonan yang menyesatkan itu dibungkus dengan humor dan gambaran-gambaran sinematografi yang memancing tawa. Sehingga orang lupa dibalik canda dan tanda itu ada sesuatu yang serius. Muslim di era globalisasi adalah menjaga diri dan keluarganya dari api neraka,” tandas Adian.

Mengutip QS Al An'am: 112, musuh para Nabi itu selalu mengungkapkan kata-kata yang indah dengan tujuan menyesatkan manusia. “Mudah-mudahan Hanung tidak sadar, keliru, dan segera bertobat. Itu lebih baik, daripada mempertahankan hal yang salah. Kita kan hanya bisa menghimbau. Terserah produser dan sutradaranya masing-masing.”

Menjadi aneh, seorang muslimah berkerudung tapi merasa nyaman bekerja di sebuah restoran yang menjual daging babi. Mungkin saja ada kasus itu, tapi apakah itu menjadi contoh ideal dari sebuah toleransi? Jelas itu contoh yang tidak baik.

Adian juga menyesalkan adegan seorang muslim memerangkan adegan Yesus, lalu sebagai sesuatu yang wajar. ”Ini bukan wilayah sosiologis dan toleransi lagi, tapi wilayah teologis, yang masing-agama punya konsep yang eksklusif dan khas. Ini salah pandang, dikira kerukunan bisa dibangun dengan menghilangkan klaim kebenaran (truth claim). Jelas ini konsep yang keliru dari sebuah pluralisme.”

Jika pluralisme itu dimaknai semua agama benar, ujung-ujung adalah orang tidak beragama pun boleh. Orang yang ateis dan pluralisme itu sangat dekat. Ketika semua agama dianggap benar, tidak beragama juga tidak apa-apa. Yang penting, baik kepada sesama manusia.Sumber:http://voa-islam.com/



Tampilkan Komentar