Bilal bin Rabah ra.

Oleh:   Anonymous Anonymous   |   Wednesday, December 14, 2011
      
Aku telah diganggu di jalan Allah dan tidak ada seorangpun yang pernah diganggu seperti gangguan yang aku terima. Aku juga sangat takut karena Allah, dan tidak ada seorangpun takut seperti ketakutanku kepada-Nya. Pernah tiga hari tiga malam, aku dan Bilal tidak mempunyai sesuatu yang bisa dimakan”[1]. Ini adalah kesaksian dari Nabi Saw. Bilal tumbuh dewasa di Mekah al-Mukarramah. Dia adalah seorang budak yatim dari Bani Abduddar. Bapak Bilal menyerahkannya kepada Umayyah Bin Khalaf, salah seorang pemimpin kafir.

Ketika cahaya kebenaran datang, Bilal termasuk orang pertama yang memeluknya. dia adalah orang pertama yang masuk Islam dari golongan budak sahaya.

Ketika mengetahui keislaman Bilal, Umayyah marah besar dan dia bersumpah akan menyiksanya seberat-berat. Dalam hal menyiksa, Umayyah dan konco-konconya sangat piawai dalam menyiksa Bilal.

Apabila matahari sudah mencapai ketinggiannya dan pasir-pasir di Mekah terasa sangat membakar, mereka melepaskan baju Bilal dan memakaikan baju besi kepadanya, lalu mereka  memanggangnya di terik matahari, sambil memukul punggungnya dengan cemeti atau cambuk. Mereka menyuruh Bilal untuk memaki Muhammad.

Ada sebagian orang yang apabila telah lelah dan letih juga tidak sanggup lagi menahan siksaan, dia melakukan apa yang mereka mau, namun hati mereka tetap kuat dengan keimanan. Tetapi lain halnya dengan Bilal, dia telah menyerahkan segalanya kepada Allah, dia tidak pernah melakukan apapun dari yang mereka inginkan, walau hanya satu kalimat saja.

Orang yang melakukan penyiksaan itu adalah Umayyah Bin Khalaf dan konco-konconya. Mereka memukul punggung Bilal dengan cambuk atau cemeti, namun Bilal tetap mengucap Ahad...Ahad (Esa..Esa..).

Mereka juga meletakkan batu besar di atas dadanya, namun Bilal tetap mengucap Ahad..Ahad.

Mereka juga mengikat dan menariknya dengan rantai besi, namun dia juga tetap mengucap Ahad..Ahad...

Mereka memaksa Bilal untuk memuji berhala, namun dia malah berzikir kepada Allah dan Rasul-Nya. mereka berkata, “Katakan seperti apa yang dia (Umayyah) katakan”.

Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengucapkan itu”. Maka mereka kembali menambah penyiksaan terhadapnya.

Apabila Umayyah kelelahan dan sudah bosan menyiksanya, dia mengikat leher Bilal dengan tali yang sangat kuat dan menyerahkannya kepada orang-orang bodoh dan anak-anak kecil, lalu mereka membawanya mengelilingi kota Mekah dengan diseret.

Dengan tegar, Bilal menerima siksaan itu dan tetap mengucap Ahad..Ahad.... Dia tidak pernah bosan dan tidak pernah takut untuk mengucapkannya.

Abu Bakar ra datang menemui Umayyah Bin Khalaf dan membeli Bilal dengan harga yang paling tinggi. Umayyah mengira bahwa Abu Bakar tidak akan mengambil budak itu. Maka diapun menjualnya dengan harga 9 uqiyah emas.

Umayyah berkata setelah terjadi kesepakatan itu, “Jika engkau tidak mau mengambilnya kecuali dengan harga satu uqiyah, aku pasti akan menjualnya dengan harga satu uqiyah itu”.

Abu Bakar menjawab, “Seandainya engkau tidak mau menjualnya kecuali dengan harga seratus uqiyah, pasti aku akan membelinya dengan harga tersebut”.

Ketika Nabi Saw pindah ke Madinah, Bilal adalah orang Muhajirin pertama di Madinah. Dia bersama Abu Bakar dan Amir Bin Fuhair tinggal bersama satu rumah. Saat itu, mereka semua terkena penyakit demam.

Apabila demam Bilal sedikit menurun, dia berteriak:

Andai kalian (yang dia maksudkan adalah demam) bermalam di Fakh[2], dan disekelilingku terdapat Idzkhir[3] dan orang mulia.

Apakah kalian ingin minum air Mijannah[4], dan apakah kalian mau menunjukkan kepadaku Syamah dan Thufail.[5][6]



Bilal hidup di Madinah dengan tenang dan bahagia bersama kekasihnya Muhammad Saw. Dia selalu pergi bersama Nabi saw apabila beliau pergi dan ikut pulang jika Nabi Saw juga sudah pulang.

Pada salah satu pertemuannya dengan Nabi Saw, beliau memanggil Bilal dan berkata, “Wahai Bilal, dengan amal apa engkau mendahuluiku ke dalam surga?. Aku masuk ke dalam surga dan saat itu aku mendengar suara sandalmu di depanku”. Bilal menjawab, “Wahai Rasulullah, setiap kali aku berhadats (wudhu’nya batal), aku langsung berwudhu. Dan setiap kali aku selesai berwudhu, aku langsung solat sunat wudhu dua raka’at”.[7]

Hari yang paling mulia dan bahagia bagi Bilal adalah hari penaklukan kota Mekah, ketika ia naik ke atas atap Ka’bah dan menyeru dengan suara yang sangat keras. Dia mengumandangkan azan yang sangat menyejukkan bak embun di pagi hari. “Allahu Akbar...Allahu Akbar...”.

Beribu-ribu mata memantang ke arah Bilal dan tanpa aba-aba sebelumnya, beribu-ribu lidah ikut menuturkan kalimat-kalimat itu dengan penuh kesyahduan.

Adapun orang-orang yang hatinya telah dihinggapi penyakit, penomena itu membangkitkan kedengkian dan menyakitkan hati mereka.

Sejak hari itu, Bilal tetap menjadi muazin Rasulullah Saw sampai akhir hayatnya.

Ketika Nabi Saw wafat dan waktu solat sudah sampai, Bilal berdiri mengumandangkan azan. Waktu itu, Nabi Saw belum dikebumikan dan masih ditutup kain kafan.

Saat dia mengucapkan kalimat Asyhadu anna Muhammad Rasulullah...ungkapan itu terasa mencekik leher, dia tidak sanggup lagi meneruskan azan dan tak bisa menahan linangan air mata. Ketika itu juga, kaum muslimin yang saat itu berada di sana ikut menangis. Mereka semua tenggelam dalam kesedihan.

Setelah tiga hari berlalu, baru Bilal kembali azan, namun setiap kali dia mengucap Asyhadu anna Muhammad Rasulullah, dia menangis tersedu-sedu dan orang-orangpun ikut menangis.

Saat Bilal menyadari hal itu, dia meminta kepada Abu Bakar untuk tidak mengumandangkan azan lagi setelah dia sadar bahwa dia tidak akan sanggup mengumandangkan azan setelah Nabi Saw wafat. Dan dia juga meminta izin kepadanya untuk berjihat bersama pasukan kaum muslimin di negeri Syam.

Abu Bakar ragu untuk memberi izin pada masalah yang satu ini. Lalu Bilal berkata kepadanya, “Jika dahulu engkau membeliku untuk dirimu, maka silakan tahan aku. Namun, jika engkau memerdekakanku karena Allah, maka biarkan aku untuk-Nya”.

Abu Bakar berkata, “Demi Allah, aku membeli engkau karena Allah dan aku memerdekakan engkau juga karena Allah”.

Bilal berkata lagi, “Aku tidak sanggup mengumandangkan azan setelah Rasulullah wafat”.

 “Baiklah, semua kemauanmu aku kabulkan”, kata Abu Bakar pasrah[8]. Hanya kalimat itu yang bisa Abu Bakar katakan setelah mendengar penuturan tulus itu.

Bilal berangkat bersama utusan kaum Muslimin yang pertama dan dia tinggal di Darayya, dekat kota Damaskus.

Dia tetap tidak mau azan, hingga Umar Bin Khatthab datang ke negeri Syam. Umar bertemu dengan Bilal ra setelah sekian lama tidak bertemu.

Umar sangat rindu dengan Bilal, juga sangat memuliakannya. Umar ra pernah berkata, “Abu Bakar adalah tuan kita, yang telah memerdekakan tuan kita –maksudnya adalah Bilal[9].

Ketika itu, para sahabat ingin sekali mendengar Bilal mengumandangkan azan di depan Umar. Saat itu, Bilal-pun bersedia.

Ketika dia mulai mengumandangkan azan, Umar tak bisa menahan tangisnya dan sahabat yang lain juga tidak bisa menahan tangisan mereka. Tangisan itu begitu hebat hingga membasahi janggut-janggut mereka. Bilal mengingatkan mereka dengan kekasih mereka, Muhammad Saw.

Bilal Bin Rabah tetap tinggal di wilayah Damaskus hingga akhir hidupnya.

Istri Bilal menangis ketika melihat suami tercinta mulai sekarat. Dia berkata, “Aduh...sedihnya!”.

Ketika itu, Bilal membuka matanya dan berkata kepada istrinya, “Jangan katakan itu, tapi katakanlah “Duh...sungguh senangnya engkau”.

Besok kami akan bertemu para kekasih,

Muhammad dan para sahabat.

Besok kami akan bertemu para kekasih

Muhammad dan para sahabat.[10]





[1] HR. Ahmad (3/120). Juga diriwayatkan oleh Turmudzi. Dia berkata, “Hadits ini adalah hadits Hasan atau Shahih.
[2] Suatu tempat di luar kota Mekah.
[3] Semacam tumbuh-tumbuhan yang berbau harum.
[4] Nama sebuah pasar orang Arab Jahiliyah di kota Mekah.
[5] Nama dua buah gunung di kota Mekah.
[6] HR. Bukhari, Kitab al-Mardha, bab Man Da’a Biwaq’il Bala wal Humma (berdoa ketika terkena bala dan penyakit deman), nomor 5677.
[7] HR. Bukhari dalam Kitab Shalatul Lail, dengan lafaz (Aku mendengar suara langkah sandalmu di depanku dalam surga).  Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Turmudzi, Ibnu Hibban dan Hakim. Al-Mundzir mengatakan hadits ini shahih.
[8] HR. Bukhari dalam Fadhailush Shahabah, bab Manaqib Bilal, nomor 3754, 3755 (7/125). Fathul Bari.
[9] HR. Bukhari dalam Fadhailush Shahabah, bab Manaqib Bilal, nomor 3754,3755 (7/125).
[10] Tentang sahabat mulia ini, silakan lihat Thabaqat Ibni Sa’ad (3/174-180). Hilyatul Auliya’ (1/147-151). Al-Isti’ab (1/178-182). Tahdzibu Tarikh Ibni Asakir (3/304-318). Asadul Ghabah (1/206-209). Tarikhul Islam, karya adz-Dzahabi (2/3). Siyaru A’laminh Nubala (1/347-360). Al-Ishabah (1/165), nomor 736. Shifatush Shafwah (1/171). Tahdzibut Tahdzib (1/502). Shuwarun min Hayatish Shahabah, hlm 313-323. Ar-Riyadh an-Nadhrah, hlm 471-569.

Tampilkan Komentar