DAKWAH Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas

Oleh:   Anonymous Anonymous   |   Sunday, October 11, 2009
Siapapun yang mengenal Al-Habib Ali bin Husein Alattas pasti akan mengatakan: “Kehidupannya sangatlah sederhana, tawadhu, teguh memegang prinsip, menolak pengkultusan manusia, berani membela kebenaran, luas dalam pemikiran, mendalam di bidang ilmu pengetahuan, tidak membeda-bedakan antara kaya dan miskin, mendorong terbentuknya negara Indonesia yang bersatu, utuh serta berdaulat, tidak segan-segan menegur para pejabat yang mendatanginya dan selalu menyampaikan agar jurang pemisah antara pemimpin dan rakyat dihilangkan, rakyat mesti dicintai.” Hal inilah yang menyebabkan rakyat mencintai Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas.
Apabila beliau keluar, beliau selalu naik becak atau kendaraan umum, sampai akhir hayatnya beliau tidak memiliki mobil. Karena beliau menginginkan hidup yang sederhana. Padahal sudah puluhan orang menawari beberapa fasilitas kemewahan kepada Al-Habib Ali. Namun beliau selalu menolaknya dengan halus. Hingga seorang tokoh ulama yang pernah belajar kepada beliau, Haji Abubakar Aceh mengatakan: “Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas sikap hidupnya mencerminkan bahwa beliau merupakan Ahlul Bait Rasulullah SAW, karena beliau benar-benar menunjukkan sikap kerakyatan, tidak pernah berlebihan dalam segala hal, serta mencintai dan itulah yang menyebabkan beliau dicintai oleh semua orang.”




Semasa hidupnya Al-Habib Ali selalu berjuang membela umat. Kesederhanaan serta isitiqamahnya dalam mempraktekkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-harinya menjadi tauladan yang sangat baik bagi umat. Beliau selalu mengajarkan dan mempraktekkan bahwa Islam mengajak umat dari kegelapan pada cahaya yang terang, membawa dari taraf kemiskinan kepada taraf keadilan dan kemakmuran.
Beliau tak pernah menadah tangannya kepada orang-orang kaya harta, sebab beliau memiliki kekayaan hati, beliau tak mau menengadahkan tangannya di bawah, kecuali hanya memohon kepada Allah SWT. Beliau memiliki ketawakalan yang begitu tinggi kepada Allah SWT.
Pada tahun 1920 M, saat itu usia beliau sekitar 29 tahun, beliau berangkat ke Indonesia untuk berdakwah dan mengajar. Sesampainya di Indonesia beliau memilih Kota Jakarta sebagai tempat tinggal dan sebagai ladang beliau untuk berdakwah. Sewaktu di Jakarta beliau melanjutkan perburuan ilmunya dengan berguru kepada para ulama dan auliya yang berada di tanah air saat itu, di antaranya adalah: Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, (Keramat Empang, Bogor.) Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas, (Pekalongan,) Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya.) dan Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor. (Bondowoso.)
Pertama kalinya beliau tinggal di daerah Cikini, letaknya disamping Masjid Cikini. Di kampung tersebut beliau tinggal bersama penduduk setempat yang hidupnya serba kekurangan. Maklum di daerah tempat tinggal beliau adalah sebuah kampung yang masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan.
Al-Habib Ali dikenal sebagai ulama yang ahli dalam bidang fikih, filsafat, tasawuf dan ilmu perbandingan mazhab. Tak mengherankan jika dalam waktu yang begitu singkat, beliau menjadi pusat rujukan dan sumber ilmu oleh para ulama setempat kala itu. Hingga kediamannya di Cikini, disebuah gang kecil yang tidak dapat dimasuki mobil, selalu penuh didatangi para ulama, kyai yang ingin menimba ilmu dari beliau. Pada tahun 1960-an, rumah beliau di Cikini terbakar. Dan beliau pindah ke daerah Bungur, sebuah perkampungan di kawasan Senin, Jakarta Pusat hingga beliau wafat.
Semasa hidupnya beliau tak pernah berhenti dan tak kenal lelah dalam berdakwah. Dituturkan oleh salah seorang murid beliau, bahwa sebagian besar hidupnya dibaktikan untuk mengibarkan panji-panji Allah, mensyiarkan Agama Allah dan meneruskan tugas serta perjuangan datuknya Rasulullah SAW. Beliau mensyiarkan ilmu-ilmu agama Islam dengan membuka majelis taklim dikediaman beliau. Hal ini beliau jalani selama lebih dari lima puluh tahun. Beliau juga mengajar di beberapa majelis taklim di Jakarta, diantaranya: Majelis Taklim Ath-Thahiriyyah, pimpinan KH. Thohir Rahili, Majelis Taklim Asy-Syafi'iyyah, pimpinan KH. Abdullah Syafi'i, Majelis Taklim Asy-Syiratussyafi'iyyah, pimpinan KH. Syafi'i Hadzami dan di Majelis Taklim Al-Habib Abdurrahman Assegaf, di Bukit Duri, Jakarta Timur.
Menurut KH.Abdullah Syafi’i: “Al-Habib Ali merupakan pewaris Nabi yang sebenarnya. Hampir sebagian besar hidupnya dibaktikan kepada Allah dan mengemban tugas sebagaimana yang ditugaskan oleh Rasulullah SAW.”
Banyak para ulama besar yang berada di Tanah Air ini pernah menimba ilmu dari beliau. Diantaranya adalah: Al-Habib Abdurahman bin Ahmad Assegaf, (Bukit Duri, Jakarta.) Al-Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi, (Putera dan Khalifah Al-Habib Ali Kwitang.) Al-Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih, (Putera Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih dan pengasuh Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah, Malang.) KH. Syafi’i Hadzami, KH. Thohir Rohili, KH. Abdurrazaq Makmun, Prof. Dr. H. Abubakar Aceh, KH. Nur Ali, (Ulama kondang asal Bekasi.) dan masih banyak lagi murid beliau yang menjadi para ulama di negeri ini. Merupakan tanda keberkahan dan keikhlasan beliau dalam mendidik murid-muridnya, tercatat bahwa semua murid Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas menjadi ulama dan orang penting yang dimuliakan oleh masyarakat karena keilmuannya.
Baik semasa tinggal di Cikini maupun di Bungur, Al-Habib Ali menerima para tamunya dengan lapang dada. Kediamannya tak pernah sepi dari para tamu-tamu yang datang. Rumahnya selalu terbuka bagi mereka yang datang kepada beliau. Baik dengan tujuan ingin berziarah, meminta fatwa, meminta do’a maupun mereka yang sedang dirundung masalah. Semua yang datang kepada beliau dengan segudang pertanyaan, dijawabnya hingga orang tersebut merasa puas. Mereka yang datang dengan segudang permasalahan, tidak keluar dari tempat beliau kecuali hilang lenyap segala masalah tersebut. Bukan hanya masyarakat awam, bahkan para pejabat negara sekalipun datang untuk meminta nasehat kepada beliau. Bahkan tidak jarang para ulama datang kepada beliau untuk meminta serta saling tukar menukar ijazah dan sanad keilmuan.
Rekan dakwah beliau, Al-Habib Salim bin Jindan mengatakan: “Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas dan Al-Habib Ali Kwitang bagaikan kedua bola mataku.” Ucapan ini keluar dari lisan Al-Habib Salim, didasari karena keluasan dan begitu dalamnya ilmu yang dimiliki kedua habib itu.
Eratnya hubungan antara Ulama Betawi dan para habaib dapat kita simak dari pernyataan KH. Syafi’i Hadzami tentang kedua gurunya, Al-Habib Ali Kwitang dan Al-Habib Ali Bungur. “Sampai saat ini, bila saya melewati Cililitan dan Condet (Daerah Jakarta Timur, dimana Al-Habib Ali Bungur dimakamkan) saya tidak pernah lupa membaca Surat Al-Fatihah untuk Al-Habib Ali Al-Attas.” Bahkan, Kyai Syafi’i rela pindah rumah agar dekat dengan rumah Al-Habib Ali yang tinggal di Bungur. Beliau menginginkan agar selalu dekat dengan sang guru.
Dipetik dari Buku Tiga Serangkai Ulama Tanah Betawi, Penerbit: Pustaka Basma Tahun 2009.

Tampilkan Komentar